Tuhan dan Manusia Dalam Pentas Wayang
-- Den Muhammad Rasyidi
WAYANG adalah salah satu budaya tradisional di Jawa yang masih eksis di era modernisasi ini. Suatu budaya yang bersejarah. Meski terdapat beberapa perbedaan persfektif tentang budaya Wayang, Rizem Aizid menegaskan dalam bukunya “Atlas Tokoh-Tokoh Wayang”, bahwa secara konvensional Wayang diartikan sebagai bentuk tiruan manusia yang terbuat dari kulit, kardus, seng, atau bahan-bahan lainnya dengan melambangkan watak manusia.
Sebagian sejarawan mengatakan, budaya Wayang lahir berkisar pada tahun 1500 SM. Sehingga budaya Wayang yang berkembang di Jawa adalah hasil impor budaya India yang datangnya bersamaan dengan Agama Hindu ke Jawa. Sebab, sekitar tahun 900 SM Hindu sudah masuk ke Indonesia. Melihat dari tahun ungkapan itu memang dapat diterima, sebab ada pementasan Wayang pada masa Prabu Erlangga, Raja Kahuripan (976-1012) pada saat itu juga penduduk Jawa sudah beragama Hindu. Menurut Prof. Schlegel dalam Bukunya “Chineesche Brauche Und Spiele In Europa” pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam Wayang di Cina. Pertunjukan ini kemudian menyebar ke India. Dari India kemudian dibawa ke Indonesia.
Lebih jelasnya, pada abad ke-4 orang-orang Hindu, terutama para pedagangnya datang ke Indonesia. Pada kesempatan tersebut mereka membawa ajarannya dengan Kitab Wedadan Epos Cerita Maha Besar India, yaitu Mahabharata dan Ramayana dengan bahasa Sanskrit. Pada abad ke-9 mulailah bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata dan Ramayana tersebut, seperti Arujunawiwaha karangan Empu Kanwa dan lainya.
Makna Filosofis Wayang
Terlepas dari perdebatan di atas, ada hal yang lebih penting untuk diketahui dari budaya tersebut. Wayang, bukan sekadar budaya yang membudaya dan menyejarah tanpa makna. Terlepas budaya Wayang lahir di negara apapun, atau dari negara manapun, atau juga cerita di dalamnya tidak sesuai dengan fakta sosial, semisal Gareng, Petruk dan sebagainya. Lebih-lebih kisahnya memang benar-benar nyata di masa lalu yang kemudian diceritakan kembali. Akan tetapi lepas dari setiap skeptisisme tersebut, Wayang mempunyai makna filosofis yang erat kaitannya kehidupan manusia hubungannya dengan Tuhan.
Sesuai definisi yang telah disepakati Wayang hakikatnya adalah bayang-bayang atau ilustrasi suatu watak dan prilaku manusia yang berada di bawah kekuasaan penuh Tuhannya. Semua sifat manusia dan Tuhan tergambar dalam pewayangan; lewat dewa dewi yang di ceritakan mestinya kita tahu bagaimana Tuhan mempunyai sifat kasih, sayang dan perkasa. Sebab dewa dan dewi tersebut tak lain adalah manifestasi dari rasa kasih dan sayang Tuhan kepada manusia. Ia yang membantu pekerjaan manusia jika sulit. Melalui pewayangan itulah, harusnya kita sadar bahwa manusia tak selamanya benar dan tak selamanya salah, ada kalanya baik dan kadang juga buruk. Itulah hidup, tidak lebih.
Selebihnya, dalam pementasan Wayang, kita dikenalkan pada profesi Dalang yang menjadi penguasa seutuhnya atas kehidupan para Wayang. Kertas atau kardus-kardus itu hanya bisa berjalan atas kehendak Dalang. Bila Dalang berkehendak mematikan atau melemahkan mereka, Kun Fayakun maka semua itu akan terjadi. Dalam dalam hal ini tak ubahnya Tuhan yang memegang tindak-tanduk manusia.
Manusia sepenuhnya ada di tangan Tuhan yang Maha di atas segala maha. Bagai dalam pewayangan, Tuhan mempunyai otoritas tertinggi pada makhluknya, Tuhan adalah Dalang yang mengatur hidup manusia. Tuhan juga yang menentukan manusia harus seperti apa dan berbuat apa. Maka tidak salah jika kemudian sebagian dari Agama yang masuk ke Indonesia, menjadikan Wayang sebagai media dakwah. Sebab bagi mereka merasa lebih mudah menyampaikannya karena juga lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Pendek kata, Wayang tidak hanya mengandung budaya yang minta dikenang atau di-sejarah-kan. Selebihnya, Wayang juga budaya yang harus dipelajari dan direnungi dalam kehidupan. Sebab, dalam Wayang terdapat nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap penokohannya yang diceritakan. Semisal sikap sabar, berlaku adil, dan bertata krama yang baik dengan sesama manusia. Nilai-nilai itu akan menciptakan kehidupan yang bermakna jika diaplikasikan secar sempurna. Jelas sudah, Wayang bukan hanya pergelaran yang bersifat menghibur, tetapi juga budaya yang serat akan nilai-nilai falsafah hidup.
Tak salah kiranya, jika kita menceritakan ulang kisah-kisah Wayang pada setiap generasi. Dengan orientasi awal, untuk mengabadikan budaya Wayang. Sebab, negara yang besar adalah negara yang cinta dengan budayanya lokalnya. Apalagi Wayang, tanpa menafikan budaya yang lain, suatu budaya yang menumbuhkan nilai spiritualitas manusia. n
Den Muhammad Rasyidi, pegiat kajian filsafatdi Lingkaran Metalogi, Fakultas Ushuluddin,UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 Desember 2013
WAYANG adalah salah satu budaya tradisional di Jawa yang masih eksis di era modernisasi ini. Suatu budaya yang bersejarah. Meski terdapat beberapa perbedaan persfektif tentang budaya Wayang, Rizem Aizid menegaskan dalam bukunya “Atlas Tokoh-Tokoh Wayang”, bahwa secara konvensional Wayang diartikan sebagai bentuk tiruan manusia yang terbuat dari kulit, kardus, seng, atau bahan-bahan lainnya dengan melambangkan watak manusia.
Sebagian sejarawan mengatakan, budaya Wayang lahir berkisar pada tahun 1500 SM. Sehingga budaya Wayang yang berkembang di Jawa adalah hasil impor budaya India yang datangnya bersamaan dengan Agama Hindu ke Jawa. Sebab, sekitar tahun 900 SM Hindu sudah masuk ke Indonesia. Melihat dari tahun ungkapan itu memang dapat diterima, sebab ada pementasan Wayang pada masa Prabu Erlangga, Raja Kahuripan (976-1012) pada saat itu juga penduduk Jawa sudah beragama Hindu. Menurut Prof. Schlegel dalam Bukunya “Chineesche Brauche Und Spiele In Europa” pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam Wayang di Cina. Pertunjukan ini kemudian menyebar ke India. Dari India kemudian dibawa ke Indonesia.
Lebih jelasnya, pada abad ke-4 orang-orang Hindu, terutama para pedagangnya datang ke Indonesia. Pada kesempatan tersebut mereka membawa ajarannya dengan Kitab Wedadan Epos Cerita Maha Besar India, yaitu Mahabharata dan Ramayana dengan bahasa Sanskrit. Pada abad ke-9 mulailah bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata dan Ramayana tersebut, seperti Arujunawiwaha karangan Empu Kanwa dan lainya.
Makna Filosofis Wayang
Terlepas dari perdebatan di atas, ada hal yang lebih penting untuk diketahui dari budaya tersebut. Wayang, bukan sekadar budaya yang membudaya dan menyejarah tanpa makna. Terlepas budaya Wayang lahir di negara apapun, atau dari negara manapun, atau juga cerita di dalamnya tidak sesuai dengan fakta sosial, semisal Gareng, Petruk dan sebagainya. Lebih-lebih kisahnya memang benar-benar nyata di masa lalu yang kemudian diceritakan kembali. Akan tetapi lepas dari setiap skeptisisme tersebut, Wayang mempunyai makna filosofis yang erat kaitannya kehidupan manusia hubungannya dengan Tuhan.
Sesuai definisi yang telah disepakati Wayang hakikatnya adalah bayang-bayang atau ilustrasi suatu watak dan prilaku manusia yang berada di bawah kekuasaan penuh Tuhannya. Semua sifat manusia dan Tuhan tergambar dalam pewayangan; lewat dewa dewi yang di ceritakan mestinya kita tahu bagaimana Tuhan mempunyai sifat kasih, sayang dan perkasa. Sebab dewa dan dewi tersebut tak lain adalah manifestasi dari rasa kasih dan sayang Tuhan kepada manusia. Ia yang membantu pekerjaan manusia jika sulit. Melalui pewayangan itulah, harusnya kita sadar bahwa manusia tak selamanya benar dan tak selamanya salah, ada kalanya baik dan kadang juga buruk. Itulah hidup, tidak lebih.
Selebihnya, dalam pementasan Wayang, kita dikenalkan pada profesi Dalang yang menjadi penguasa seutuhnya atas kehidupan para Wayang. Kertas atau kardus-kardus itu hanya bisa berjalan atas kehendak Dalang. Bila Dalang berkehendak mematikan atau melemahkan mereka, Kun Fayakun maka semua itu akan terjadi. Dalam dalam hal ini tak ubahnya Tuhan yang memegang tindak-tanduk manusia.
Manusia sepenuhnya ada di tangan Tuhan yang Maha di atas segala maha. Bagai dalam pewayangan, Tuhan mempunyai otoritas tertinggi pada makhluknya, Tuhan adalah Dalang yang mengatur hidup manusia. Tuhan juga yang menentukan manusia harus seperti apa dan berbuat apa. Maka tidak salah jika kemudian sebagian dari Agama yang masuk ke Indonesia, menjadikan Wayang sebagai media dakwah. Sebab bagi mereka merasa lebih mudah menyampaikannya karena juga lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Pendek kata, Wayang tidak hanya mengandung budaya yang minta dikenang atau di-sejarah-kan. Selebihnya, Wayang juga budaya yang harus dipelajari dan direnungi dalam kehidupan. Sebab, dalam Wayang terdapat nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap penokohannya yang diceritakan. Semisal sikap sabar, berlaku adil, dan bertata krama yang baik dengan sesama manusia. Nilai-nilai itu akan menciptakan kehidupan yang bermakna jika diaplikasikan secar sempurna. Jelas sudah, Wayang bukan hanya pergelaran yang bersifat menghibur, tetapi juga budaya yang serat akan nilai-nilai falsafah hidup.
Tak salah kiranya, jika kita menceritakan ulang kisah-kisah Wayang pada setiap generasi. Dengan orientasi awal, untuk mengabadikan budaya Wayang. Sebab, negara yang besar adalah negara yang cinta dengan budayanya lokalnya. Apalagi Wayang, tanpa menafikan budaya yang lain, suatu budaya yang menumbuhkan nilai spiritualitas manusia. n
Den Muhammad Rasyidi, pegiat kajian filsafatdi Lingkaran Metalogi, Fakultas Ushuluddin,UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 Desember 2013
No comments:
Post a Comment