Menjadi Seniman Hanyalah Kepuasan
Belarminus Piter Petrus Lengkong, nama lengkapnya, memiliki talenta sejak berusia 15-tahun sudah menunjukan bakatnya kepada publik sebagai seniman. Hal ini terinspirasi oleh kakeknya yang juga sebagai pencinta seni yakni sebagai pemahat patung “Pantak” yaitu sebuah patung yang digunakan sebagai alat upacara adat suku dayak dan diyakini memiliki kekuatan pada saat acara ritual adat suku Dayak yang disebut Nyangahatn. “Hanya saja saya tidak diajarkan langsung, melainkan hanya memperhatikan bagaimana kakek saya membuatnya. Selanjutnya adalah otodidak,” Ungkap Petrus Sabtu (12/10/2013)
Lelaki kelahiran 25 Desember 1943 itu bercerita meskipun sudah mengabdi puluhan tahun sebagai pekerja seni (Seniman-Red) sehingga kerap membawa nama harum daerah kelahirannya hingga ke manca Negara. Namun apa yang Ia peroleh tidak sebanding dengan kondisi hidupnya yang belum layak sebagai seorang seniman. Meski demikian Dia tidak pernah berhenti untuk berkarya.
Lanjut Petrus, awalnya Ia hanya tertarik pada seni melukis dengan konsep Land-Scape yang menceritakan alamiah kepada generasi penerus bagaimana menjaga dan melestarikan alam. Ketertarikan itu dilandasi karena dirinya mencintai alam dan ingin menyatu dengan alam. Dia memandang alam juga mengandung unsur kesenian dan budaya. Dan itu banyak luput dari perhatian manusia yang hanya menjadi perusak alam. “Setelah melihat banyak sekali pemandangan alam yang indah di sekitar tempat tinggal saya. Inspirasi pun tertuang pada lukisan,” Ungkapnya.
Sebagai Veteran Petrus berbagi pengalaman jika dirinya juga seorang militer pada 1969 saat konfrontasi Malaysia dan bertugas di Batalyon Infanteri 642 Kabupaten Sintang. Masuk tentara dengan pangkat ‘Tamtama’ ternyata tidak membuat dirinya meninggalkan hobi menjadi pelukis, kapan saja, dimana saja selalu terlihat Ia melukis.
Menurutnya, ketika berperang dengan ‘PGRS/Paraku’ atau pemberontak di Lanjak, kabupaten Kapuas Hulu, salah satu temannya tertembak musuh. ”Saya menyaksikan sendiri bagaimana teman saya tertembak. Kemudian saya lukis bagaimana keadaannya sambil berlindung, sehingga ada laporan untuk komandan,” Kata Petrus membuka memori.
Tragedi itu tidak sekedar ingatan, melainkan goresan kuas di atas kanvas karena setiap hasil karya lukisannya itu memiliki pesan pesan moril. Mengajak masyarakat untuk selalu menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Ada sekitar 100 lukisan yang telah dia ciptakan dari tangan terampilnya itu. Setelah itu barulah dirinya terjun sebagai pemahat patung. “Meski demikian, saya tidak meninggalkan bidang lukis itu. Justru dua bidang itu saya kerjakan sekaligus,” tutur Petrus tersenyum.
Dalam hal membuat patung, Petrus selalu memberikan makna disetiap pahatannya. Misalnya Pantak, Menurutnya ada tiga patung sebagai penjaga penjuru perbatasan, penjaga lumbung padi, dan untuk Nyangahatn. Setidaknya itu menjadi kepercayan karena merupakan tradisi turun temurun nenek moyang Suku Dayak. Tidak secara ritual tapi lihatlah dari sudut keindahan, makna dan keseniannya.
Namun tidak mudah bagi Petrus untuk menghasilkan karya patung yang indah.
Diperlukan waktu dan konsentrasi. Hanya ketika dirinya mendapat inspirasi ketika itulah secara otomatis Ia memahat patung. Tak cukup sampai disitu, Petrus kemudian mengembangkan kesenian yang lain, yaitu seni tarian. Dia menciptakan sendiri tarian itu dan uniknya dia belajar dari seekor burung Enggang “Manug Alo” Itu ketika dirinya sedang berjalan sendiri di hutan dan itu dia pelajari selama satu tahun. “Mulai dari gerak kepala, badan dan kaki burung itu saya perhatikan, kemudian saya tuangkan pada setiap tarian,” Tutur lelaki keturunan suku dayak Bakatik Rara ini.
Menurutnya, Tarian Enggang cukup unik dan mengandung banyak filosofi. Orang-orang dayak menerapkan filosofi itu dalam hidup menggambarkan Cinta kasih sayang kepada keluarga dan anak anak, juga orang lain. “Kalau saya menerapkannya dalam gerakan tari,” jelas lelaki berambut panjang dan mudah tersenyum kepada setiap orang.
Selain itu Petrus juga membuat beberapa kerajinan tangan. Seperti tas, perisai dengan motif dayak, baju tradisional dayak, vas bunga dan lain lain. Semua barang kerajinan itu dibuat dari bahan dasar kulit kayu. Berbagai prestasi berhasil diraihnya ketika mengikuti pameran pameran budaya. Mulai dari lokal, nasional bahkan menjajal sampai ke luar negeri hingga manca Negara. Seperti Jerman, Belanda, Jepang dan Tiongkok. Bahkan beberapa patung hasil karyanya itu sudah sampai di Eropa. “Saya hanya bisa menikmati saja, kalau bukan karena seniman mana mungkin saya bisa keluar negeri,” Kata Petrus Bangga.
Berdasarkan hasil pantauan SIAGA.CO kondisi kehidupan seniman yang sudah mengabdikan hidupnya selama puluhan tahun sebagai pekerja seni, dan telah mampu membawa nama kota kelahirannya ke manca negara, aneh bin ajaib kehidupannya biasa-biasa saja dengan kata lain tidak memiliki apa apa.
Jangankan Galeri rumah pun dirinya tidak punya. Ironisnya, kondisi itu tidak melemahkan semangatnya untuk berhenti berkarya. Justru menjadi motivasinya untuk terus membuat karya seni. “Saya memang tidak memiliki apa apa, namun pesan saya teruslah berkarya dan melestarikan kesenian tradional dayak di Kalimantan Barat, Kabupaten Bengkayang pada khususnya harus dihormati dan dihargai oleh generasi penerus,” Pesan Petrus mengakhiri. (Jamli Panago)
No comments:
Post a Comment